Dewasa ini seringkali orang tua lebih memberikan ijin kepada anaknya untuk nonton konser dibandingkan mengikuti kajian islam. Alasannya simple, mereka takut kalau anaknya menjadi orang yang paham agama kemudian menjadi seorang teroris atau ekstrimis seperti halnya pemberitaan di media. Sebuah ironi yang tengah menjadi masalah bersama. Nampaknya orang tua lebih suka jika anaknya menjadi seorang hedonis dibanding menjadi seorang alim dalam agama, nongkrong menghabiskan waktu tak apa tetapi untuk mengkaji Al-Qur’an jadi nestapa.
Ketika ditelisik lebih mendalam lagi agaknya ada sebuah pemikiran yang salah karena pengaruh media. Orang yang belajar agama dan mencoba mengamalkannya disangka seorang ekstrimis, dengan dalih sedang berjihad. Jihad sendiri mereka maknai sebagai peperangan melawan kaum kafir. Padahal kalau kita tengok lagi kata jihad secara bahasa berarti berusaha dengan sungguh-sungguh. Sedangkan yang dimaksud dengan berperang melawan kaum kafir dalam Al-Qur’an dinamakan dengan “Qital”. Perbedaan ini seringkali tidak dilihat oleh kaum orientalis atau musuh islam dengan modus untuk membuat umat islam takut untuk menegakkan agamanya, bahkan tidak percaya diri dengan ajaran agamanya. Karena takut di cap sebagai seorang ekstrimis.
Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS. Ash-Shaf : 10-11)
Dalam ayat tersebut jelas bahwa jihad itu bukan hanya sebatas mengorbankan jiwa saja melainkan bisa dengan mengorbankan harta benda. Ketika seorang muslim pemahamannya salah akan membentuk sikap yang salah, sehingga nilai keislaman tidak merasuk kedalam jiwa pemiliknya.
Jika jihad pada zaman rasulullah dengan menggunakan pedang, maka jihad abad ke-21 dengan pemikiran dan kekuasaan. Mengapa? Karena bukan zamannya lagi penaklukan menggunakan pedang, melainkan penaklukan dengan keindahan lisan dan pemikiran. Seorang mubaligh yang pandai berdialektika dan berorasi lebih bisa meraih simpati daripada seorang jenderal perang penguasa ribuan tentara. Si ahli orasi lebih ditakuti dibandingkan si ahli strategi perang berbadan kekar lagi tinggi, karena islam datang dengan damai, Al-Quran menuntut kemuliaan akal budi dalam memahaminya.
Hal ini sekaligus menjadi bukti mukjizat Al-Quran dalam memberikan bukti keagungannya hingga akhir zaman. Mukjizat nabi Sholeh dengan untanya hilang bersama umatnya yang membangkang, Nabi Nuh dengan bahteranya hilang seiring berjalannya waktu, Laut merah yang terbelah menjadi mukjizat nabi Musa tak bisa lagi terulang setelah tenggelamnya Firaun dan para pengikutnya. Sedangkan Al-Quran hingga detik ini tetap eksis sebagai mukjizat dan tidak ada seorangpun mampu membuat satu ayat yang menyamai keagungannya. Karena Al-Qur’an adalah kitab ilmu pengetahuan baik agama maupun ilmu modern abad 21.
Kembali ke makna jihad, seorang muslim wajib hukumnya berjihad apapun latar belakang profesinya. Seorang penulis berjihad dengan mata penanya untuk menyebarkan tulisan inspiratif, seorang dokter berjihad dengan kepandaiannya menyembuhkan pasien, seorang pengusaha berjihad dengan hartanya untuk menyelesaikan masalah umat, maupun seorang mubaligh berjihad dengan kefasihannya dalam agama untuk menyadarkan umat.
Konon ada sebuah percakapan imajinatif antara malaikat Ridwan dengan orang-orang yang akan masuk surga. Mereka berebutan untuk memasuki surga terlebih dahulu, diantaranya ada seorang penulis, seorang dokter, seorang mubaligh dan seorang pengusaha. Diantara mereka, siapakah orang yang terlebih dahulu masuk kedalam surga?
Malaikat Ridwan menanyai satu persatu diantara mereka, datanglah kesempatan malaikat bertanya kepada seorang penulis. “Hai penulis, apa gerangan yang menyebabkan aku memberikan kesempatan kepadamu untuk memasuki surga terlebih dahulu?”
“Aku ketika didunia adalah orang yang sering menulis artikel inspiratif kepada pembaca, dengan harapan mereka bisa tersadar dan kembali kejalan Allah melalui perantara tulisanku. Maka perkenankan saya memasuki surga terlebih dahulu malaikat Ridwan.” Jawab si Penulis.
“Tunggu, engkau tak boleh masuk sebelum aku selesai menanyai semua orang yang ada didepanku.” Malaikat menjawab dengan nada sedikit tinggi.
“Bagaimana dengan engkau Si Dokter? Apa hal yang menyebabkan aku memberikan kesempatan kepadamu untuk memasuki surga terlebih dahulu?” Tanya malaikat Ridwan penasaran.
“Aku adalah seorang dokter yang tidak pernah melihat siapa pasien yang datang kepadaku, baik dia miskin maupun kaya aku memberikan pelayanan terbaikku, aku tak mengharapkan kekayaan dari profesiku karena aku hanya ingin keridhoan Allah semata. Bahkan jika ia seorang miskin lagi fakir maka tak ku pungut biaya sepersenpun demi kesembuhannya.” Pungkas si Dokter.
Belum selesei kekaguman malaikat kepada si dokter, malaikatpun bertanya kepada si Mubaligh. “Hai mubaligh, engkau seorang yang alim lagi fasih dalam bertutur kata. Apa hal yang menyebabkan aku memberikan kesempatan kepadamu untuk memasuki surga terlebih dahulu?”
Dengan fasih si Mubaligh menjawab , “Aku di dunia senantiasa mengajarkan kebaikan, memberikan pembelajaran kepada murid-murid yang datang kepadaku tanpa mengharapkan imbalan. Dan Alhamdulillah sudah ada ratusan orang yang kembali ke jalan Allah melalui perantara lisanku.”
“Sedangkan engkau Si Pengusaha, apa hal yang menyebabkan aku memberikan kesempatan kepadamu untuk memasuki surga terlebih dahulu?”
Dengan nada yang santun Si Pengusaha menjawab, “Aku adalah orang yang jujur dalam berdagang, tidak mengambil praktik riba karena takut akan ancaman Allah. Dengan harta yang kumiliki, aku telah membangun percetakan untuk menerbitkan buku-buku inspiratif, dengan hartaku aku membangun rumah sakit yang megah untuk kalangan miskin, dan aku juga membangun Pondok pesantren sebagai tempat belajar bagi santri-santri yang akan menjadi lentera ditengah masyarakat yang rusak.”
Dengan wajah tersenyum, malaikat membukakan pintu Surga kepada Si Pengusaha. Dia lebih dahulu dimasukkan kedalam surga dibandingkan dengan yang lain lantaran amalannya.
Dari cerita diatas bisa kita lihat, bahwa kualitas amalan jauh lebih penting dibandingkan latar belakang profesi seseorang. Seorang pengusaha bisa jadi lebih ber-jihad dibandingkan seorang mubaligh yang tiap hari berceramah. Karena dengan hartanya, si Pengusaha lebih banyak memberikan manfaat terhadap perbaikan lingkungannya. Ia tak segan dalam mengeluarkan hartanya demi kepentingan islam, seperti halnya kisah Sumur Raumah milik Utsman bin Affan yang memberikan manfaat hingga hari ini.
Wallahu’alam bishowab.